Kota-kota di dunia kini tak hanya berlomba dalam membangun gedung pencakar langit atau memperluas jaringan transportasi. Di balik beton dan aspal, kreativitas menjadi kendaraan untuk memajukan ekonomi baru, memperkuat identitas, hingga inklusi sosial. Lahir dari semangat ini, dua jaringan kota kreatif tumbuh: satu bertaraf global bernama UNESCO Creative Cities Network (UCCN), dan satu lagi versi lokal Indonesia bernama Indonesia Creative Cities Network (ICCN).
Sekilas keduanya terdengar mirip—sama-sama menjunjung tinggi budaya dan industri kreatif. Tapi tunggu dulu. Saat digali lebih dalam, ada perbedaan mendasar dari asal-usul, tujuan, hingga aturan mainnya. Mari kita telusuri bagaimana masing-masing jaringan ini bekerja, dan apa dampaknya bagi Kabupaten/Kota yang menjadi anggotanya.
Lahir dari Misi Global vs. Kepentingan Nasional
UCCN dibentuk oleh UNESCO pada 2004 dengan visi besar: membangun perdamaian dan keberlanjutan melalui budaya. Di sinilah kota-kota seperti Pekalongan, Surakarta, Ambon, Jakarta, hingga Bandung bisa duduk satu meja untuk berbagi strategi mengangkat Kerajinan dan Kesenian Rakyat, Musik, Literatur, hingga Desain sebagai motor utama pembangunan kota dan komunitas berkelanjutan. Kabupaten/Kota lainnya diharapkan dapat menjadi Kota Gastronomi, Film, Seni Media, dan Arsitektur (subset Desain).
Berbeda dengan UCCN yang muncul dari bawah—kota yang mengajukan diri sendiri untuk menjadi anggota—ICCN lahir dari atas: dorongan pemerintah pusat untuk menata ulang potensi daerah melalui kekuatan budaya lokal. Tujuannya lebih membumi: memperkuat kapasitas daerah, menghidupkan ekonomi kreatif, dan menciptakan jejaring kota-kota kreatif di seluruh Nusantara.
Kriteria: Siapa yang Boleh Masuk?
Masuk ke jaringan UNESCO bukan perkara mudah. Kota harus punya identitas budaya yang kuat, rencana jangka panjang, dan komitmen mendalam terhadap dialog internasional. Ini bukan sekadar ikut-ikutan; kota harus benar-benar hidup dalam semangat kreativitas global.
ICCN punya pendekatan yang lebih adaptif. Tak perlu pengakuan dunia dulu, asalkan punya warisan budaya, potensi industri kreatif, dan semangat kolaborasi, Kabupaten/Kota Anda bisa bergabung. Bahkan Kabupaten/Kota kecil sekalipun bisa naik kelas, jika mampu menunjukkan semangat inovasi dan kearifan lokal.
Arah Strategi: Global Diplomacy vs. Nasionalisasi Budaya
UNESCO membawa misi besar: menjadikan budaya sebagai kunci pembangunan berkelanjutan dan inklusif. Kota-kota anggotanya didorong untuk aktif dalam diplomasi budaya, memperkuat identitas lewat kerja sama lintas negara, dan tentu saja, menyumbang pada pencapaian Tujuan Nomor 11 Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) adalah Kota dan Komunitas yang Berkelanjutan dan Mondiacult 2022.
Sementara ICCN menancapkan akarnya pada strategi pembangunan nasional. Fokusnya? Meningkatkan partisipasi warga, mendorong inovasi lokal, dan menempatkan industri kreatif sebagai penggerak ekonomi daerah. Ini bukan tentang tampil di panggung dunia, tapi membangun dari desa ke kota, dari bawah sampai ke pucuk.
Cara Kerja: Forum Dunia vs. Lokakarya Lokal
Bayangkan kota-kota dalam UCCN berkumpul dalam forum internasional, bertukar ide, menggelar festival lintas benua, dan berkolaborasi lewat proyek lintas batas. UNESCO menyediakan panggung, jejaring, dan sumber daya global untuk mewujudkan mimpi-mimpi besar itu.
ICCN tak kalah aktif—tapi dengan cara berbeda. Melalui lokakarya, pelatihan keterampilan, dan dukungan terhadap festival lokal, ICCN menyentuh langsung denyut kreatif di setiap Kabupaten/Kota anggotanya. Pusat inovasi didirikan, potensi kuliner dan kerajinan diangkat, dan semangat gotong-royong dikobarkan.
Modal dan Sumber Daya: Luar Negeri atau Dalam Negeri?
UCCN punya peluang besar untuk mengakses dana internasional, hibah global, dan kemitraan multilateral. Kota anggota didorong untuk kreatif mencari sumber dana demi mewujudkan program-program besarnya.
Sementara ICCN lebih bergantung pada APBN, APBD, dan kemitraan lokal. Ini menjadikannya lebih fleksibel untuk program-program kontekstual, tapi juga lebih rentan terhadap perubahan kebijakan dan prioritas anggaran nasional dan daerah
Dampaknya: Reputasi Global vs. Kemandirian Lokal
Menjadi anggota UCCN berarti membawa nama kota ke panggung dunia. Ini soal branding, diplomasi, dan transfer ide lintas benua. Bonusnya, kota naik pamor dan menjadi magnet wisata budaya global.
ICCN lebih membumi. Ini soal membangkitkan potensi dari dalam, membangun ekosistem kreatif di tingkat lokal, dan menjadikan budaya sebagai pilar pembangunan daerah. Belum banyak sorotan internasional? Tidak masalah. Yang penting masyarakat merasakan langsung dampaknya.
Akhir Kata: Jalan Mana yang Ingin Kita Tempuh?
Di era ketika kreativitas bisa menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi dan pemersatu masyarakat, baik UCCN maupun ICCN menawarkan jalan yang berbeda. Apakah kita ingin menari di panggung dunia atau menyalakan lilin dari halaman rumah sendiri?
Idealnya, keduanya bisa berjalan berdampingan. Kabupaten/Kota di Indonesia bisa memulai dari ICCN—menata fondasi lokal, mengasah kekuatan budaya, membangun kapasitas—lalu naik kelas ke UCCN untuk tampil di panggung global. Kreativitas tak terbatas. Dan kota Anda bisa jadi bintangnya—asalkan tahu aturan mainnya.