Ekosistem seni yang sehat bukan hanya panggung bagi seniman untuk berkarya, tetapi juga mesin penggerak ekonomi, diplomasi budaya, hingga pembangunan sosial. Dari Seoul hingga London, dari Tokyo hingga Jakarta, berbagai negara menunjukkan bagaimana seni dapat menjadi kekuatan strategis — asalkan didukung dengan kebijakan yang tepat.
Seniman dan Kreator: Dari Galeri ke Pasar Dunia
Bagi para seniman dan kreator, keberadaan pameran dan jaringan internasional sering menjadi “gerbang emas” menuju pengakuan global. Contohnya terlihat pada Art Jakarta 2025, salah satu pameran seni terbesar di Asia Tenggara. Acara ini mempertemukan ratusan seniman lokal dan internasional, galeri besar, hingga kolektor kelas dunia. Dalam siaran resminya, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menyatakan bahwa ekosistem seni Indonesia “harus menjadi ruang kolaborasi lintas sektor untuk mengangkat nama bangsa” [Berkomitmen Mendorong Ekosistem Seni Indonesia, Fadli Zon Resmi Buka Art Jakarta 2025, 2025].
Namun, tidak semua seniman punya akses setara. Banyak pekerja seni menghadapi pendapatan tidak stabil, sulit mendapatkan pelindungan sosial, dan kesulitan menembus pasar internasional. Di banyak negara maju, masalah ini dijawab dengan skema hibah, residensi, dan insentif pajak. Misalnya, di Prancis, seniman mendapatkan subsidi dan tunjangan sosial dari negara — meski kini menghadapi tekanan akibat pemotongan anggaran budaya [The Art Newspaper, 2025].
Kreator Digital: Korea dan Jepang Jadi Teladan
Di ranah kreator digital, Korea Selatan menjadi contoh gemilang. Melalui kebijakan ekspor budaya yang agresif, Kementerian Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata Korea (MCST) berhasil mendorong gelombang Hallyu (Korean Wave) hingga menjadi fenomena global. Konten K-pop, drama, dan desain visual Korea kini diekspor ke puluhan negara dan menghasilkan miliaran dolar per tahun [MCST, Korea Creative Content Agency 2024].
Model serupa juga diterapkan Jepang lewat dukungan terhadap anime, manga, dan seni media baru. Agency for Cultural Affairs Japan menyediakan dana riset, festival internasional, dan pelatihan bisnis bagi kreator [Agency for Cultural Affairs Japan, 2024]. Keduanya menunjukkan bahwa kebijakan ekspor budaya bisa membuka jalan besar bagi kreator digital untuk bersaing di pasar dunia.
Akademia dan Penelitian: Masih Tertinggal
Peran akademia sering terlupakan dalam ekosistem seni. Padahal, universitas dan lembaga penelitian seni dapat menjadi pusat pengetahuan, inovasi, dan dokumentasi budaya. Di Inggris, Arts Council England secara rutin menggandeng kampus untuk mengukur dampak sosial-ekonomi kegiatan seni. Laporan mereka 2024–2027 menyebutkan bahwa “kolaborasi riset menjadi dasar perencanaan kebijakan publik budaya” [Arts Council England, Delivery Plan 2024–2027].
Sebaliknya, di Indonesia, pendanaan riset seni masih sangat terbatas. Banyak kampus kesulitan melakukan riset terapan karena minim dukungan, padahal hasil riset bisa memperkuat posisi seniman dan kreator dalam kebijakan nasional.
Pemerintah: Antara Pendukung dan Pengarah
Peran pemerintah sangat menentukan arah ekosistem seni. Di Korea dan Jepang, pemerintah bertindak sebagai fasilitator dan eksportir budaya. Di Inggris dan AS, pemerintah menggunakan model arm’s-length funding, lembaga independen seperti Arts Council dan National Endowment for the Arts (NEA) menyalurkan dana berdasarkan kriteria profesional, bukan kepentingan politik [NEA Annual Report 2024].
Sebaliknya, di beberapa negara Eropa seperti Prancis, terlalu tingginya ketergantungan pada subsidi negara menimbulkan masalah saat anggaran publik dipotong. Menurut laporan Culture Action Europe (2025), “terdapat risiko ‘instrumentalisasi seni’ saat pendanaan publik dipakai semata untuk tujuan ekonomi atau politik, bukan kebebasan artistik.”
Komunitas dan Media: Penghubung ke Publik
Seni bukan hanya urusan seniman dan pemerintah. Komunitas lokal dan media berperan penting sebagai jembatan dengan masyarakat. Di Inggris, misalnya, program community arts berhasil menjangkau wilayah-wilayah minoritas dan meningkatkan partisipasi warga. Namun, laporan The Guardian menyebutkan masih ada ketimpangan akses antara kelas sosial atas dan bawah di dunia seni Inggris [The Guardian, 2025].
Media juga menjadi penggerak penting. Liputan tentang pameran besar seperti Art Jakarta bukan hanya meningkatkan visibilitas seniman, tetapi juga menarik minat kolektor dan investor baru [Berkomitmen Mendorong Ekosistem Seni Indonesia, 2025].
Pelajaran untuk Indonesia
Dari studi lintas negara tersebut, ada beberapa pelajaran kunci bagi Indonesia:
- Pendanaan publik yang stabil + mekanisme pasar yang sehat dapat menciptakan ekosistem seni yang berkelanjutan (model Inggris & AS).
- Ekspor budaya strategis (model Korea & Jepang) menghasilkan dampak ekonomi dan diplomasi besar.
- Inklusi sosial dan desentralisasi penting agar talenta di luar kota besar tidak tertinggal.
- Data dan riset seni perlu diperkuat sebagai dasar kebijakan publik.
Kementerian Kebudayaan RI telah menunjukkan langkah awal melalui dukungan terhadap Art Jakarta 2025. Namun, langkah berikutnya adalah merancang kebijakan lintas sektor yang mencakup insentif fiskal, perlindungan sosial seniman, riset budaya, dan program ekspor konten kreatif.
Referensi
- MCST & Korea Creative Content Agency (2024) — Laporan Kebijakan Ekspor Budaya Korea.
- Arts Council England. Delivery Plan 2024–2027.
- NEA (USA). Annual Performance Report 2024.
- Agency for Cultural Affairs Japan (2024).
- The Art Newspaper (2025). “France’s cultural budget cuts threaten artists’ autonomy.”
- Culture Action Europe (2025). State of Culture Report.
- The Guardian (2025). “Arts inequality debate reignites in the UK.”
- Berkomitmen Mendorong Ekosistem Seni Indonesia, Fadli Zon Resmi Buka Art Jakarta 2025 (2025).

