Di tengah arus perubahan yang makin cepat—dari disrupsi teknologi hingga krisis global—tiga kata kunci ini sering muncul dalam berbagai diskusi strategi: kolaborasi, inovasi, dan adaptasi. Namun, pertanyaan mendasar sering terlontar: mana yang didahulukan?
Jawabannya tidak tunggal, tetapi bergantung pada konteks dan tujuan organisasi. Meskipun demikian, berbagai contoh sukses di dunia menunjukkan pola-pola umum yang dapat dijadikan pegangan.
1. Adaptasi → Kolaborasi → Inovasi: Strategi Bertahan Saat Krisis
Ketika pandemi COVID-19 melanda pada 2020, banyak sektor lumpuh. Namun, sejumlah perusahaan mampu beradaptasi dengan cepat, berkolaborasi lintas fungsi, lalu melahirkan inovasi baru.
Contohnya adalah Gojek Indonesia. Dalam waktu singkat, Gojek:
> Mengubah prioritas layanan dari transportasi ke pengantaran barang dan makanan (adaptasi).
> Membangun kemitraan dengan pemerintah dan rumah sakit untuk layanan GoMed (kolaborasi).
> Meluncurkan fitur “Check-in COVID-19” dan dompet digital untuk donasi publik (inovasi).
Kecepatan adaptasi menjadi kunci pertama. “Krisis mempercepat perubahan perilaku. Siapa yang cepat beradaptasi, dialah yang bertahan,” ujar Kevin Aluwi, Co-CEO Gojek (sumber: Katadata, 2020).
2. Kolaborasi → Adaptasi → Inovasi: Membangun Budaya Jangka Panjang
Contoh lain datang dari ekosistem riset Jepang. Pemerintah Jepang membangun jaringan kolaborasi antara universitas, industri, dan pemerintah sejak tahun 1980-an. Budaya kolaborasi ini mempermudah lembaga-lembaga riset untuk beradaptasi terhadap tren global seperti AI dan robotika, dan kemudian melahirkan inovasi-inovasi teknologi yang mendunia.
Contohnya, proyek Society 5.0 yang diluncurkan 2016 menekankan sinergi sektor publik–swasta dalam menciptakan masyarakat cerdas berbasis teknologi. Hasilnya, Jepang kini menjadi salah satu negara dengan tingkat kesiapan digital dan inovasi tertinggi di dunia [World Economic Forum, 2022].
3. Inovasi → Kolaborasi → Adaptasi: Strategi Startup
Bagi startup, sering kali justru inovasi yang menjadi pemicu awal. Contohnya Airbnb, yang bermula dari ide sederhana menyewakan kasur udara (air bed) kepada tamu. Inovasi ini kemudian dikembangkan melalui kolaborasi dengan investor dan komunitas host di seluruh dunia.
Seiring pertumbuhan, Airbnb harus beradaptasi dengan regulasi lokal di banyak negara, termasuk menyesuaikan model bisnisnya agar sesuai hukum dan budaya setempat. Strategi “inovasi dulu, adaptasi kemudian” ini cocok untuk organisasi yang ingin bereksperimen cepat dengan ide baru [sumber: Harvard Business Review, 2014].
Tidak Ada Satu Urutan Pasti
Tiga pola di atas menunjukkan bahwa Kolaborasi–Inovasi–Adaptasi bisa fleksibel, bergantung pada:
Tujuan: bertahan, tumbuh, atau mencipta.
Konteks: krisis, stabil, atau fase eksperimen.
Kapabilitas organisasi: apakah budaya kolaborasi sudah terbentuk, atau inovasi menjadi kekuatan utama.
Namun, ada satu benang merah: *tidak ada inovasi yang berkelanjutan tanpa adaptasi dan kolaborasi. Inovasi yang berdiri sendiri tanpa jejaring dan penyesuaian terhadap realitas lapangan seringkali gagal berkembang.
Pelajaran Praktis untuk Organisasi
Bangun budaya kolaboratif sejak awal, agar respons terhadap perubahan lebih cepat dan fleksibel.
Jadikan adaptasi sebagai refleks organisasi*, bukan reaksi sesaat.
Dorong inovasi terarah, bukan sekadar ide “Wow” yang tidak bisa dijalankan.
Sesuaikan langkah sesuai situasi: krisis → adaptasi dulu; jangka panjang → kolaborasi dulu; fase ide kreatif → inovasi dulu.
Penutup
Di era yang ditandai oleh ketidakpastian dan percepatan perubahan, organisasi—baik bisnis, komunitas, maupun pemerintahan—perlu piawai memainkan tiga instrumen ini: Kolaborasi, Inovasi, dan Adaptasi.
Bukan siapa yang paling kuat atau paling pintar yang bertahan, melainkan siapa yang paling mampu beradaptasi dan berkolaborasi untuk melahirkan inovasi yang relevan.
Sumber
- Katadata (2020). “Strategi Gojek Bertahan di Tengah Pandemi.”
- World Economic Forum (2022). Global Competitiveness Report.
- Harvard Business Review (2014). “How Airbnb Found Its Place in the World.”
- Kementerian Pendidikan dan Riset Jepang (2018). Society 5.0 Policy Outline.

