Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar mengungkapkan bahwa potensi dana umat di Indonesia sangat besar, yakni Rp500 triliun per tahun. Menurutnya, jika dikelola dengan baik, dana umat ini mampu menjawab persoalan sosial seperti kemiskinan ekstrem.
”Peluang dana umat ini pertama dari wakaf, kemudian infaq, zakat, sedekah jariyah, dan luqathah (barang temuan),” ujar Menag dalam keterangannya saat menerima kunjungan Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi Ansharullah, di Kantor Kementerian Agama (Kemenag), pada Kamis, 17 Juli 2025.
Kunjungan Gubernur Sumatera Barat itu sendiri dalam rangka mengundang Menag Nasaruddin Umar untuk menghadiri sekaligus membuka acara Seminar Wakaf Internasional yang dijadwalkan berlangsung di Bumi Minangkabau.
Menag menilai, dana umat sangat berpotensi jadi sumber pembiayaan sosial keagamaan yang berkelanjutan. Apalagi, terdapat sejumlah dana mengendap di perbankan yang tidak lagi diurus karena pemiliknya meninggal dunia dan ahli warisnya tidak diketahui.
”Kalau dikumpulkan, potensinya bisa Rp500 triliun per tahun. Katakanlah Rp20 triliun saja, itu sudah bisa membantu menyelesaikan masalah umat. Orang miskin mutlak di Indonesia ada dua juta, dan dana ini sudah bisa membebaskan kemiskinan mutlak itu,” katanya.
Melihat besarnya potensi tersebut, Nasaruddin mengatakan, Kemenag tengah melakukan sejumlah upaya penguatan kelembagaan untuk mengelola dana umat ini. Pertama, kata dia, Kemenag sedang membentuk Lembaga Pengelola Dana Umat (LPDU) yang akan berfungsi mirip seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam ranah dana sosial keagamaan.
”(Upaya kedua, yakni) dalam dua tahun ini, insya Allah sudah selesai dibangun gedung 48 lantai yang menggabungkan Badan Wakaf Indonesia, Badan Amil Zakat Nasional, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal, Majelis Ulama Indonesia, dan dana-dana umat lainnya,” kata Nasaruddin yang juga imam besar Masjid Istiqlal ini.
Adapun upaya ketiga, yakni menyiapkan sistem praktis. Menurut, rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam berwakaf bukan karena kurangnya kesadaran, tetapi karena belum tersedianya sistem yang praktis dan bebas hambatan birokrasi.
”Kalau bisa korporasi, pemerintah, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha Milik Negara itu menggalakkan dan memudahkan dalam pembayaran wakaf, sehingga orang menyumbang tanpa membuang waktu dan berhadapan dengan birokrasi,” tuturnya.