Awal 2021 menjadi saksi ledakan popularitas NFT (Non-Fungible Token). Dunia seperti tersihir oleh tren baru ini—karya seni digital terjual dengan harga fantastis, bahkan hingga jutaan dolar. Media global heboh, investor penasaran, publik berbondong-bondong ikut. Namun seperti gelembung sabun, kilau itu perlahan memudar. Harga jatuh, pasar menurun, dan tak sedikit investor yang menelan kerugian besar. Di Indonesia, salah satu kisah paling ikonik datang dari seorang mahasiswa asal Semarang: Ghozali Everyday.
Dari Selfie ke Ribuan Dolar
Namanya Sultan Gustaf Al Ghozali. Bukan selebritas, bukan seniman digital ternama—hanya mahasiswa biasa yang selama empat tahun (2017–2021) rajin memotret selfie hariannya. Sebanyak 933 foto itu kemudian ia unggah ke platform NFT OpenSea.
Siapa sangka, Januari 2022 menjadi titik balik hidupnya. Proyek nyeleneh ini viral di media sosial dan komunitas kripto dunia. Dari harga awal sekitar $3–$5 per selfie, nilai karyanya melonjak tajam. Beberapa bahkan terjual lebih dari 1 ETH—senilai Rp 40 juta saat itu. Fenomena ini menggebrak jagat maya dan memperlihatkan satu hal penting: storynomics bisa jadi lebih berharga daripada estetika.
Ketika Gelembung Meletus
Namun, hype tak bertahan lama. Menjelang akhir 2022, pasar mulai jenuh. Harga NFT Ghozali jatuh bebas, sebagian besar kembali ke angka di bawah 0.01 ETH (kurang dari Rp 300.000). Mereka yang membeli di puncak hanya bisa gigit jari. Fenomena ini menjadi contoh nyata bagaimana spekulasi dan euforia sesaat bisa memicu bubble economy, dan Ghozali pun menjadi simbol unik dari “gelembung NFT” versi Indonesia.
FOMO, Biang Kerok Gelembung
Apa yang membuat orang rela beli selfie seharga motor bekas? Jawabannya: FOMO (Fear of Missing Out). Rasa takut tertinggal dari tren atau peluang cuan cepat membuat banyak orang bertindak tanpa pertimbangan matang. FOMO mendorong pembelian massal, menciptakan lonjakan harga tak wajar, dan ketika kenyataan menampar, bubble itu pecah dengan keras.
Ciri khas bubble ekonomi akibat FOMO:
- Harga naik cepat dan tak masuk akal.
- Spekulasi menggantikan logika.
- Muncul ketimpangan antara harga dan nilai intrinsik.
- Investor pemula berbondong-bondong ikut.
- Diakhiri dengan penurunan tajam dan kepanikan pasar.
Ghozali Syndrome: Antara Inspirasi dan Peringatan
Ghozali Everyday adalah bukti bahwa siapa pun bisa viral, bahkan lewat cara yang tak terduga. Namun di balik kisah viral itu, tersimpan pelajaran pahit tentang investasi, spekulasi, dan efek psikologis dalam ekonomi digital. Kisah Ghozali tak hanya menghibur, tapi juga mengingatkan: jangan biarkan FOMO mengendalikan dompet dan logika kita.
Inilah yang disebut oleh sebagian pengamat sebagai “Ghozali Syndrome”—sebuah gejala ketika kreativitas bertemu viralitas, dan pasar lupa cara berpikir rasional.