Obral Empati Digital: Ketika Narsisme Pejabat Mengikis Kepercayaan Publik

Pemimpin yang otentik dan berintegritas tidak perlu berlebihan dalam melakukan pencitraan digital karena kualitas diri dan hasil kerjanya akan berbicara dengan sendirinya. Foto: Freepik

I Dengarkan Berita

Lagi-lagi linimasa media sosial kita diramaikan oleh parade “kepedulian” para pejabat. Deretan foto dan video produk kunjungan, bantuan simbolis yang terasa artifisial, hingga janji-janji manis membanjiri layar gawai kita. Namun, sayangnya, esensi dari semua unggahan itu sering kali terasa hampa, bahkan sekadar tempelan visual belaka. Alih-alih berfokus pada akar permasalahan dan menawarkan solusi berkelanjutan yang dibutuhkan masyarakat, yang justru mencuat adalah obsesi berlebihan pada visualisasi diri dan narasi heroik yang dangkal.

Fenomena “narsisme digital” ini melampaui sekadar persoalan preferensi estetika atau gaya komunikasi personal. Ia mengindikasikan potensi pergeseran fokus yang berbahaya: dari esensi pelayanan publik yang sesungguhnya menuju upaya pencitraan diri yang masif dan tak berujung.

Kebijakan dan tindakan yang semestinya terukur dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat luas, kini tereduksi menjadi sekadar konten viral yang mengejar atensi sesaat di dunia maya. Akibatnya, publik semakin skeptis, mempertanyakan ketulusan di balik empati digital yang dipamerkan dan mempertimbangkan kembali alokasi sumber daya yang lebih seringkali tampak diprioritaskan untuk kepentingan pencitraan diri.

Kritik pedas selayaknya dialamatkan pada praktik yang kontraproduktif ini. Transparansi sejati tidak dapat diukur dari frekuensi unggahan di media sosial atau jumlah likes yang berhasil dikumpulkan. Tolok ukur yang sesungguhnya adalah akuntabilitas kinerja yang terukur dan dampak nyata dari setiap kebijakan yang diambil bagi perbaikan kehidupan warga.

Masyarakat tidak lagi membutuhkan tontonan kepedulian yang terasa semu dan dibuat-buat, melainkan solusi konkret dan implementasi nyata atas beragam persoalan mendesak yang mereka hadapi sehari-hari.

Sudah saatnya para pejabat mengakhiri sandiwara digital yang melelahkan ini. Kepercayaan publik, yang sayangnya kian terkikis akibat praktik narsisme dan obsesi pencitraan diri yang berlebihan, akan sulit dipulihkan jika tidak ada perubahan fundamental dalam cara mereka bekerja dan berkomunikasi.

Fokus utama hendaknya tertuju pada substansi permasalahan dan solusi yang efektif, bukan lagi pada sensasi sesaat yang hanya membuai mata. Layani rakyat dengan tindakan nyata yang membawa perubahan positif, bukan sekadar caption menggugah emosi yang dangkal dan cepat dilupakan. Ironisnya, dorongan untuk terus menerus menampilkan diri ini bahkan merambah hingga ke ruang publik fisik.

Coba perhatikan saja banner-banner acara kota; alih-alih informasi acara yang jelas dan informatif bagi warga, foto besar sang pemimpin daerah justru seringkali mendominasi ruang visual. Padahal, keberadaan logo kota yang representatif seharusnya sudah cukup mengindikasikan keterlibatan pemerintah dalam acara tersebut, menunjukkan betapa kuatnya dorongan untuk selalu menampilkan diri dalam setiap kesempatan. Inilah ujian sesungguhnya bagi integritas dan komitmen seorang pemimpin dalam melayani.

Di tengah riuhnya jagat maya yang tak pernah reda, para pejabat seolah berlomba menampilkan citra diri terbaik mereka. Namun, di antara lautan unggahan yang membanjiri platform digital, muncul sebuah pertanyaan krusial: manakah unggahan yang merupakan representasi otentik dari seorang pemimpin yang tulus melayani, dan mana pula yang sekadar imitasi dan rekayasa demi mendulang popularitas digital yang fana?

Fenomena “pejabat KW” atau mereka yang sekadar latah mengikuti tren demi mengejar viralitas sesaat, semakin mencolok dan mudah dikenali. Gaya komunikasi mereka cenderung berubah-ubah seiring dengan arah angin popularitas, dangkal dalam substansi kebijakan, dan lebih menekankan pada visualisasi diri yang menarik perhatian sesaat tanpa kedalaman makna.

Interaksi dengan warganet pun sering kali terasa formal, canggung, atau bahkan tidak relevan dengan isu mendasar yang sedang hangat dibicarakan. Tujuan utamanya tampak jelas: membangun citra instan tanpa pondasi yang kuat pada kinerja nyata dan dampak positif bagi masyarakat.

Sebaliknya, di tengah arus pencitraan digital yang dominan, masih ada segelintir pejabat yang gaya komunikasinya di media sosial terasa lebih mengakar pada realitas dan mencerminkan kepribadian serta fokus yang konsisten pada pelayanan. Nama Dedi Mulyadi sering kali disebut dalam konteks ini.

Konsistensinya dalam mengangkat isu-isu budaya, kearifan lokal, serta interaksi langsung dengan masyarakat melalui bahasa yang lugas, sederhana, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari, memberikan kesan otentik dan tulus. Unggahannya pun tak jarang menyentuh substansi permasalahan yang dihadapi masyarakat dan upaya konkret dalam mencari penyelesaiannya, bukan sekadar tontonan emosional yang bersifat sementara.

Kendati demikian, kewaspadaan tetap diperlukan bagi kita semua. Di era digital yang serba cepat dan penuh kamuflase ini, batas antara ketulusan yang sejati dan kepiawaian yang terampil dalam membangun citra positif bisa menjadi sangat tipis dan sulit dibedakan. Perbedaan mendasar di antara keduanya terletak pada prioritas dan proporsi.

Apakah platform media sosial benar-benar dimanfaatkan sebagai alat yang efektif untuk mengkomunikasikan hasil kerja nyata dan berinteraksi secara tulus dengan masyarakat yang dilayani, ataukah justru bertransformasi menjadi panggung utama di mana setiap tindakan dan perkataan diatur sedemikian rupa demi mencapai viralitas dan popularitas semata?

Oleh karena itu, masyarakat perlu menjadi konsumen informasi yang cerdas dan kritis. Jangan mudah terpukau oleh kilauan visual yang memukau atau narasi emosional yang menyentuh hati pada pandangan pertama. Amati dengan saksama konsistensi pesan yang disampaikan, kedalaman substansi konten yang dibagikan, kualitas interaksi yang dibangun dengan warga, dan yang terpenting, rekam jejak kinerja nyata di luar sorotan kamera media.

Pemimpin yang otentik dan berintegritas tidak perlu berlebihan dalam melakukan pencitraan digital karena kualitas diri dan hasil kerjanya akan berbicara dengan sendirinya. Sementara itu, mereka yang hanya “KW” akan terus berupaya keras memoles citra di dunia maya demi menutupi kekosongan substansi dan minimnya kontribusi nyata bagi masyarakat.

Inilah ujian sesungguhnya bagi para pemimpin di era digital: mampu membedakan secara jelas antara membangun koneksi yang otentik dan bermakna dengan masyarakat yang mereka layani dan sekadar berburu popularitas semu yang tidak akan bertahan lama.

Semoga Kota Malang tercinta benar-benar memiliki pemimpin sejati, yang dengan tulus dan penuh dedikasi membangun kota ini, dan bukan hanya sibuk membangun citra dirinya semata di berbagai platform. Sungguh kasihan rakyat, yang dalam kondisi sulit ini benar-benar membutuhkan perhatian dan solusi nyata, bukan sekadar dijadikan objek konten untuk mendulang simpati digital.

Related posts

DPR Bikin Sistem Pengaduan, Tapi Aspirasi Rakyat Hanya Jadi Ilusi

Di Antara Cinta dan Pengkhianatan

Reformasi Komisaris BUMN, Ujian Nyata bagi Transparansi dan Akuntabilitas Publik