Di tengah arus globalisasi yang deras, budaya lokal seringkali tergerus oleh gelombang budaya asing. Namun, siapa sangka justru sektor kecil menengah seperti Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) bisa menjadi benteng pertahanan identitas budaya suatu bangsa. Jepang dan Korea Selatan adalah contoh nyata bagaimana UMKM bukan sekadar roda penggerak ekonomi, tetapi juga penjaga nilai-nilai budaya yang hidup dalam keseharian masyarakat.
Dengan kontribusi lebih dari 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyerap hingga 97% tenaga kerja (Kemenkop UKM, 2023), UMKM jelas menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Namun, masih banyak PR jika bicara soal peran UMKM dalam menjaga dan memperkuat identitas budaya bangsa.
Menengok Negeri Sakura dan Negeri Ginseng
Di Jepang, kerajinan tangan seperti keramik Kyo-yaki atau tekstil Nishijin bukan hanya barang seni yang mahal, tapi sudah jadi bagian dari gaya hidup modern. Dengan sentuhan inovasi desain kontemporer, produk-produk tradisional ini berhasil menarik hati generasi muda, tanpa meninggalkan akar budayanya. Dukungan pemerintah juga luar biasa—mulai dari subsidi, pelatihan keterampilan, hingga promosi lewat festival budaya seperti Kyoto Gion Matsuri. Semua berjalan harmonis untuk membawa warisan leluhur tetap hidup di era digital.
Korea Selatan tak kalah cerdas. Lewat gelombang Hallyu—dari K-pop hingga drama Korea—mereka mengemas budaya menjadi komoditas global. Hanbok, makanan tradisional seperti kimchi dan tteokbokki, hingga merchandise K-pop tak hanya laris di pasar internasional, tapi juga membanggakan identitas bangsa. Pemerintah mendirikan badan khusus seperti KOCCA (Korea Creative Content Agency) yang tak hanya memberi dana, tapi juga pelatihan digital dan akses pasar global bagi pelaku UMKM. Hasilnya? Ekspor produk budaya tembus 12 miliar dolar AS pada 2022.
Indonesia: Kaya Budaya, Tapi…
Indonesia punya modal budaya luar biasa—dari batik, tenun, hingga kuliner daerah. Tapi sayangnya, banyak pelaku UMKM masih berkutat dengan keterbatasan akses pasar, inovasi, dan minimnya dukungan regulasi yang berpihak pada pelestarian nilai budaya, pelindungan hukum Kekayaan Intelektual Komunal, insentif ekonomi, dan peningkatan kapasitas pelaku UMKM dari lokal ke panggung dunia. Program nasional seperti Bangga Buatan Indonesia sudah mulai bergerak, namun implementasinya belum merata, apalagi di pelosok negeri.
Apa yang Bisa Kita Adaptasi?
Dari Jepang dan Korea Selatan, ada tiga hal penting yang bisa Indonesia pelajari:
Kebijakan Terpadu: Pemerintah perlu hadir tak hanya lewat regulasi, tapi juga lewat pelatihan, subsidi, dan pemasaran. UMKM perlu diberi panggung, bukan sekadar diminta bertahan.
Inovasi dengan Rasa Lokal: Produk lokal harus dikemas dengan sentuhan modern. Batik tak lagi sekadar kain formal, tapi bisa jadi streetwear keren yang diburu generasi Z.
Promosi Digital dan Festival Budaya: Jangan remehkan kekuatan TikTok dan Instagram. Promosi lewat media sosial dan kolaborasi dengan influencer bisa jadi strategi jitu. Festival budaya juga jangan hanya seremonial, tapi harus melibatkan pelaku UMKM secara nyata.
Tak kalah penting, pendidikan budaya sejak dini harus diperkuat. Mulai dari PAUD, anak-anak perlu dikenalkan pada bahasa daerah, cerita rakyat, hingga permainan tradisional. Dari situ akan tumbuh rasa cinta dan bangga pada budaya sendiri.
Akhir Kata
UMKM bukan hanya soal omzet dan lapangan kerja. Dibalik produk-produk kecil itu, tersimpan nilai besar: identitas bangsa. Indonesia punya peluang besar untuk menjadikan UMKM sebagai duta budaya yang tak hanya tampil di negeri sendiri, tapi juga bersaing di panggung dunia. Yang dibutuhkan sekarang adalah komitmen bersama—antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat—untuk menjadikan budaya sebagai fondasi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.