Kokoh Bukan Berarti Kaku: Seni Bertahan di Masa Sulit

A+A-
Reset
Dengarkan Berita

Hidup pada hakikatnya adalah perjalanan yang penuh dengan tikungan, naik-turun, dan ketidakpastian. Ada masa ketika semuanya tampak berjalan mulus, pintu-pintu terbuka dengan mudah, dan segala sesuatu terasa bersahabat. Di sisi lain, ada pula waktu ketika yang hadir justru badai, jalan terjal, dan dinding yang seolah menghalangi langkah. Masa sulit selalu datang dengan wajah yang beragam, entah berupa kehilangan orang tercinta, tekanan ekonomi, kegagalan dalam usaha, penyakit yang menggerogoti, atau krisis batin yang membuat jiwa terasa hampa.

Tidak seorang pun kebal dari kemungkinan jatuh dalam kesulitan. Justru dalam momen-momen seperti itulah kita diuji: apakah kita mampu menemukan pijakan yang kokoh, atau justru tergelincir dalam arus putus asa. Pijakan yang kokoh bukanlah sesuatu yang datang begitu saja. Ia harus dicari, dibangun, dan dihidupi. Ia bukan hanya persoalan materi atau kondisi eksternal, melainkan juga soal batin, cara pandang, serta kesanggupan untuk merangkul kenyataan apa adanya.

Ketika masa sulit menghantam, orang kerap tergoda untuk mencari jalan pintas, menginginkan solusi instan, atau melarikan diri dari kenyataan. Pengalaman manusia dari generasi ke generasi menunjukkan bahwa yang paling mampu bertahan bukanlah mereka yang paling kuat secara fisik, melainkan mereka yang punya akar batin yang dalam, kesabaran yang besar, dan kebijaksanaan dalam menyikapi kenyataan.

Menemukan pijakan yang kokoh menuntut keberanian untuk menerima bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Sering kali kita mengira bahwa masa depan sepenuhnya berada di dalam genggaman kita, padahal kenyataan bisa dengan mudah mengubah segalanya. Seseorang yang sudah menata hidup dengan teliti, merancang usaha, menabung demi masa depan, bisa saja terjerat krisis global yang meluluhlantakkan segalanya.

Seorang yang menjaga kesehatan sebaik mungkin bisa tetap terserang penyakit yang tak terduga. Kehidupan memang menyimpan ironi, tetapi justru di situlah kita ditantang: bagaimana tetap tegak meskipun tanah yang dipijak berguncang. Dalam situasi sulit, penting untuk kembali pada hal-hal mendasar yang memberi kekuatan.

Ada orang yang menemukannya dalam iman, ada yang menemukannya dalam cinta keluarga, ada pula yang menemukannya dalam rasa tanggung jawab kepada orang lain. Ibarat pohon besar yang tetap berdiri meski diterpa badai, akar yang menghunjam ke dalam tanah adalah kunci keteguhannya.

Akar itu bisa berupa nilai-nilai hidup yang kita pegang, prinsip moral, atau keyakinan bahwa setiap kesulitan pasti membawa peluang untuk tumbuh. Dengan memiliki pijakan nilai yang jelas, seseorang tidak mudah goyah meski badai datang silih berganti. Pijakan yang kokoh bukan berarti kebal terhadap rasa sakit. Justru masa sulit mengajarkan bahwa menangis, rapuh, dan jatuh bukanlah kelemahan. Itu bagian dari kemanusiaan kita.

Yang membedakan hanyalah bagaimana kita bangkit kembali. Ada orang yang tenggelam dalam keputusasaan hingga kehilangan arah, tetapi ada pula yang menjadikan luka sebagai sumber kebijaksanaan baru. Mereka menyadari bahwa kehidupan bukan hanya soal menang atau kalah, melainkan juga soal bertahan dan belajar dari setiap peristiwa. Dalam hal ini, kesabaran menjadi batu pijakan yang amat penting. Kesabaran bukan sekadar menunggu keadaan berubah, melainkan kemampuan untuk tetap tenang, jernih, dan teguh meski gelombang tidak segera reda.

Selain kesabaran, kemampuan untuk bersyukur juga menjadi pijakan yang menyelamatkan. Di tengah masa sulit, orang sering kali hanya melihat kekurangan, kehilangan, atau penderitaan. Padahal, selalu ada sisi kecil dari kehidupan yang tetap patut disyukuri: kesehatan yang masih tersisa, persahabatan yang tulus, atau bahkan sekadar udara pagi yang masih bisa dihirup.

Rasa syukur ini bukan berarti menutup mata terhadap realitas pahit, melainkan menemukan alasan untuk tetap melangkah. Ia menyalakan cahaya kecil di tengah kegelapan, memberi energi batin untuk terus bergerak meski jalannya berat. Pijakan lain yang tak kalah penting adalah solidaritas. Tidak ada manusia yang bisa menghadapi badai sendirian. Dalam kesulitan, hadirnya orang lain bisa menjadi penyelamat.

Sebuah kata penghiburan, uluran tangan, atau sekadar keberadaan yang setia menemani mampu menjadi sumber kekuatan. Dalam banyak kisah, orang bertahan hidup bukan karena mereka begitu tangguh, melainkan karena ada komunitas, keluarga, atau sahabat yang mendukung. Maka, membangun relasi yang sehat dan tulus merupakan cara lain untuk menemukan pijakan kokoh. Kesulitan hidup menjadi lebih ringan ketika ditanggung bersama.

Masa sulit juga mengajarkan pentingnya fleksibilitas. Pijakan yang kokoh bukan berarti kaku, melainkan justru lentur. Ibarat bambu yang bisa meliuk mengikuti angin tanpa patah, manusia yang bijaksana tahu kapan harus bertahan, kapan harus mengalah, dan kapan harus mengub ah arah. Kadang, kesulitan datang karena kita terlalu terpaku pada satu jalan yang ternyata buntu.

Dengan membuka diri pada kemungkinan baru, kita menemukan pijakan yang sebelumnya tak terpikirkan. Fleksibilitas inilah yang membuat kita mampu beradaptasi, bukan sekadar melawan keras kepala terhadap kenyataan. Lebih jauh lagi, masa sulit sering kali menjadi kesempatan untuk meninjau ulang makna hidup. Banyak orang yang justru menemukan panggilan sejatinya ketika mereka jatuh.

Ada yang setelah kehilangan pekerjaan akhirnya menemukan bakat terpendam. Ada yang setelah menghadapi penyakit serius justru menemukan makna dalam hal-hal sederhana. Kesulitan memaksa kita berhenti, merenung, dan bertanya ulang: apa yang sungguh penting? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menuntun kita menemukan pijakan baru yang lebih kokoh daripada sekadar rutinitas sehari-hari. Pada akhirnya, masa sulit bisa menjadi gerbang transformasi.

Tidak jarang, pijakan yang kokoh juga lahir dari harapan. Harapan adalah kekuatan yang membuat manusia mampu bertahan dalam kondisi paling mustahil sekalipun. Harapan bukan sekadar keinginan kosong, melainkan keyakinan bahwa hidup selalu memberi kemungkinan. Ia seperti pelita yang tetap menyala meski angin kencang terus berhembus.

Dalam sejarah, banyak orang yang selamat dari masa paling kelam justru karena mereka menggenggam harapan, meskipun tipis. Harapan ini menyalakan keberanian untuk terus berjalan satu langkah demi satu langkah, tanpa harus tahu dengan pasti bagaimana akhir dari perjalanan itu.

Menemukan pijakan yang kokoh di masa sulit bukanlah soal menghilangkan penderitaan atau menghapus kesedihan, melainkan tentang bagaimana kita tetap berdiri meskipun dunia seolah runtuh di sekitar kita.

Pijakan itu bisa berupa iman, kesabaran, rasa syukur, solidaritas, fleksibilitas, atau harapan dan sering kali semuanya hadir sekaligus, saling menguatkan. Ketika pijakan itu telah ditemukan, kita akan menyadari bahwa masa sulit bukanlah akhir, melainkan bagian dari perjalanan menuju kedewasaan. Kesulitan memang bisa melukai, tetapi juga bisa menempa. Dan ketika akhirnya badai reda, kita berdiri lebih kokoh, lebih bijaksana, dan lebih manusiawi.

Dengan demikian, masa sulit bukan sekadar musibah, melainkan peluang untuk menemukan jati diri. Mereka yang berani menghadapi kesulitan dengan hati yang terbuka akan menemukan pijakan yang tak tergoyahkan. Dan pada gilirannya, pijakan itu tidak hanya menyelamatkan dirinya, tetapi juga menjadi penopang bagi orang lain yang tengah berjuang.

Hidup adalah perjalanan bersama, dan dalam kebersamaan itulah kita menemukan kekuatan sejati. Yang membuat kita bertahan bukanlah ketiadaan badai, melainkan keteguhan pijakan yang kita temukan di dalamnya.

Jangan Lupa! Tinggalkan Komentar

Catatan:
Dengan mengisi formulir ini, Anda setuju dengan penyimpanan dan penanganan data Anda oleh EPOCHSTREAM. Kami tentu menjamin kerahasiaan dan keamanan data Anda sesuai peraturan yang berlaku. Selengkapnya, baca Kebijakan Privasi dan Ketentuan Layanan kami.

ARTIKEL TERKAIT