Fasilitas Kesehatan Melimpah, Stunting Tetap Memprihatinkan

A+A-
Reset
Dengarkan Berita

Melimpahnya fasilitas kesehatan untuk ibu dan anak di Jawa Timur belum mampu menekan angka prevalensi stunting di wilayah ini secara signifikan. Angka stunting di Jawa Timur hanya sedikit lebih rendah dari rata-rata nasional pada 2021. Apa yang sebenarnya terjadi?


Lunglai dan lemas tampak dari raut wajah anak Holilah. Ia merengek-rengek tidak ingin berada jauh dari ibunya. ”Dia sedang sakit,” ujar Holilah, saat ditemui di rumahnya di Kelurahan Muharto, Kota Malang, Kamis, 15 September 2022.

Holilah bercerita, anaknya memang sering sakit demam disertai pilek sejak kecil. Entah apa penyebabnya, ia tak begitu mengetahui. Karena sering sakit itu pula lah, perkembangan anaknya tidak optimal.

Di usia anaknya yang menginjak 1,5 tahun, tubuhnya tampak kurus. Tinggi badannya pun tak sampai 70 cm, alias tinggi ideal seorang anak di usia tersebut. ”Makannya susah kalau sakit,” kata ibu rumah tangga ini.

Karena susah makan, Holilah pun tidak begitu memperhatikan asupan makan anaknya. Selama anaknya mau makan, ia berikan. Bahkan, ia sering memberikan mie goreng instan yang dijual di pasaran untuk anaknya yang masih balita.

”Kalau mie dia suka. Bahkan, dia kadang yang minta sendiri,” ungkap ibu berusia 35 tahun ini. Namun, untuk asupan makan setiap hari, dia menyebutkan sering memberikan nasi, sayuran dan ikan laut.

Soal asupan makanan, ia memang tidak pilih-pilih. Apakah makanan yang diberikannya cukup untuk memenuhi gizi anaknya atau tidak. Apalagi, dirinya tidak bisa membaca atau tuna aksara. Sehingga, selama makanan itu menurutnya baik, ia berikan ke anaknya.

Begitu halnya jika anaknya sakit, Holilah tidak mau repot. ia hanya mengandalkan mantri. Ia mengaku tidak pernah membawa anaknya berobat ke Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) atau pun ke rumah sakit.

Dia beralasan karena tidak ada yang mengantar. Sebab, lokasi Puskesmas di wilayahnya berjarak hingga satu kilometer. ”Suami sibuk kerja di Kepanjen (kecamatan di Kabupaten Malang) , jadi seringnya (kalau anak sakit) dibawa ke mantri dekat sini saja,” ungkapnya.

Selama berobat ke mantri, Holilah mengatakan dirinya selalu mendapatkan resep dua macam jenis obat, yaitu sirup dan beberapa butir pil untuk anaknya. Dua macam obat itu diminta untuk diminumkan kepada anaknya.

”Dua obat ini yang diresepkan sama mantri,” ungkap Holilah sambil lalu menunjukkan dua macam obat, yaitu sirup bernama Zetamol Paracetamol Syrup dan pil tanpa merek yang masing-masing butirnya terbungkus kertas bertuliskan 3×1.

Zetamol Paracetamol Syrup adalah obat yang mengandung Parasetamol sebagai zat aktifnya. Obat jenis analgesik ini digunakan untuk menurunkan demam, meredakan nyeri ringan hingga sedang, seperti sakit kepala, sakit gigi.

Meski sebagai penurun panas, penggunaan Zetamol Paracetamol Syrup harus tetap sesuai anjuran. Sebab, obat ini memiliki efek samping seperti sakit kepala, mual, muntah hingga gangguan penurunan fungsi hati jika penggunaannya melebihi ketentuan.

Sama halnya dengan asupan makanan, dalam memberikan dua obat tersebut kepada anaknya, Holilah tidak mengetahui jenis dan manfaatnya. Yang diketahuinya, dua jenis obat itu untuk anak-anak dan diminum tiga kali sehari.

”Nggak tahu (jenis dan manfaatnya dua obat yang diberikan), taunya hanya diminum tiga kali sekali, ya saya berikan saja,” ucapnya. Hal itu dilakukan Holilah karena dirinya yang memang tidak bisa membaca, sehingga manut saja apa yang diperintahkan petugas kesehatan.

Sejak mengandung hingga anaknya kini berusia 1,5 tahun, dirinya juga mengaku tidak pernah mendapatkan pendampingan soal gizi. Bahkan, untuk berobat ke Puskesmas. Sesekali, jika ada kebutuhan, dia yang bertanya kepada kader Posyandu (Pos Pelayanan Keluarga Berencana – Kesehatan Terpadu).

Begitu juga soal gizi dan perkembangan anaknya, dia mengaku tidak pernah mendapatkan edukasi. Misalnya, soal berat badan dan tinggi badan anaknya berapa, Ia tak tahu. Bahkan, soal stunting atau anak pendek karena gagal tumbuh, dia mengaku tidak tahu sama sekali.

”Ngak tahu soal itu (stunting). Buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) ada dan selalu dibawa jika ke Posyandu, tapi kan enggak bisa baca. Jadi, ngak tau apa-apa,” ungkap ibu rumah tangga berusia 35 tahun ini.

Hal serupa juga dialami Sulastri yang juga memiliki anak dengan masalah stunting. Berat badan anaknya hanya 10 kg, padahal usianya menginjak tiga tahun. Idealnya anak usia tiga tahun, tinggi badan semestinya sudah mencapai 87,4 – 101,7 cm dengan berat antara 10,8 – 18,1 kg.

Ibu asal Desa Kertonegoro, Kecamatan Pakuniran, Kabupaten Probolinggo ini menyebutkan, selama membawa anaknya ke Posyandu, tidak pernah mendapatkan edukasi atau pun sosialisasi soal gizi dan permasalahan stunting.

”Enggak pernah (mendapatkan edukasi soal gizi dan masalah stunting saat Posyandu). Hanya diberi makanan dan vitamin. Pernah dapat susu SGM. Itu saja,” ungkapnya.

Selama ini, dia mengatakan untuk kegiatan Posyandu hanya sekedar menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan anaknya. Kegiatan tersebut, kata Sulastri, dilakukan setiap bulan satu kali.

”Kegiatannya (Posyandu) ya nimbang, ngukur tinggi badan, di kasih makanan, vitamin, setelah itu, selesai. Ngak pernah datang ke rumah, saya yang datang ke Balai Desa,” kata ibu rumah tangga berusia 34 tahun ini.

Tidak jauh berbeda dialami Anik Purwati, seorang ibu asal Kabupaten Bondowoso. Dia menyebutkan, selama membawa anakya ke Posyandu, tidak pernah mendapatkan edukasi soal gizi maupun stunting.

“Saya sering ke sana (Posyandu) setiap bulan, kadang selasa pertama. (Selama datang ke Posyandu) hanya disuruh jaga pola makannya (anak) dan dikasih vitamin,” kata ibu rumah tangga berusia 39 tahun ini.

Tidak hanya Holilah, Sulastri dan Anik Purwati, seorang ibu anak satu asal Banyuwangi, Qurotul Ayun, juga mengaku tidak pernah mendapatkan edukasi apapun soal gizi maupun stunting saat mengikuti kegiatan Posyandu atau datang ke Puskesmas.

Parahnya, selain tidak mendapatkan edukasi soal gizi atau stunting, Ayun yang kini menetap di Kota Malang ini menyebutkan malah sering ditawari untuk menggunakan alat kontrasepsi IUD setiap mengikuti kegiatan Posyandu.

”Sekalipun (alat kontrasepsi) katanya untuk mencegah kehamilan, tapi apa manfaatnya. Yang aku butuhkan (datang ke Posyandu) kan melihat perkembangan anak saya, bukan itu,” ucap ibu berusia 26 tahun ini.

Tidak hanya itu, Ayun bercerita dirinya pernah mengalami hal yang kurang enak saat mengikuti kegiatan Posyandu di rumah asalnya, Banyuwangi. Dia dibentak salah satu petugas Posyandu karena hanya tanya soal buku KIA terbitan terbaru.

Padahal, dia hanya bertanya apakah diperbolehkan memintanya. Alasanya meminta buku KIA terbitan terbaru itu karena buku KIA yang dimilikinya sudah robek, bahkan sampulnya hilang.

Di sisi lain, dibandingkan buku KIA terbitan lama, Ayun mengatakan informasi soal gizi, panduan soal memantau perkembangan anak dan lain sebagainya lebih lengkap di buku KIA terbitan terbaru.

”Saat itu kan aku pulang kampung, jadi saya inisiatif bawa anak ke Posyandu di sekitar rumah. Harapannya, perkembangan anak saya bisa tetap dipantau. Soalnya, saya pulang kampung kan hampir tiga bulan lebih,” ceritanya.

”Tapi, saat saya ke Posyandu dan cuma tanya soal buku KIA terbaru itu, petugasnya malah jawab dengan nada tinggi, Buku ini terbatas Mbak, sampean sudah ada bukunya, kok minta lagi, itu sudah cukup,” ujar Ayun menirukan ucapan salah satu petugas Posyandu tersebut.

Karena pengalaman tersebut, Ayun mengaku trauma sampai saat ini. Bahkan, dia tidak mau lagi datang ke Posyandu atau pun Puskesmas karena merasa tidak mendapatkan edukasi apapun. Padahal, edukasi soal gizi sangat penting baginya sebagai ibu baru.

Solusinya, untuk mengatahui informasi gizi hingga makanan pendamping Air Susu Ibu (MP ASI) anaknya, dia mencari tahu sendiri di internet. Sebab, selama datang ke Posyandu maupun di Puskesmas, edukasi-edukasi tersebut tidak didapatkannya.

Selain dari internet, untuk imunisasi anaknya, Ayun mengaku lebih memilih datang ke rumah sakit ibu dan anak dibandingkan mendatangi dua fasilitas kesehatan tersebut. Sekalipun dirinya harus mengeluarkan uang.

”Saya lebih enak datang ke dokter anak langsung, sekalipun bayar, saya bisa dapat edukasi lebih banyak dari dokter yang memang berkompeten, informasinya juga lebih dapat dipercaya,” kata Ayun.

Fasilitas Melimpah, Stunting Tetap Tinggi

Holilah, Sulastri, Anik dan Ayun hanya sebagian kecil dari ibu-ibu di Jawa Timur yang sudah berupaya rutin datang ke Posyandu atau Puskesmas untuk mengetahui perkembangan anaknya. Namun, mereka belum mendapatkan haknya.

Cerita mereka menjadi gambaran bagaimana sebenarnya pelayanan kesehatan ibu dan anak di Posyandu atau pun Puskesmas di Jawa Timur. Terutama soal penanganan stunting. Meski kasus stunting diklaim selalu turun setiap tahun.

Kondisi itu senyampang dengan data yang dikumpulkan media ini. CoverBothSide.com mengumpulkan data kesehatan dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Timur dan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2021.

Data yang dikumpulkan media ini antara lain prevalensi stunting di 38 kabupaten/kota Jawa Timur pada 2021, jumlah fasilitas kesehatan tiap kabupaten/kota yang terkait layanan kesehatan ibu dan anak seperti Posyandu dan Puskesmas.

Hasilnya menunjukkan data yang mengejutkan. Daerah dengan fasilitas kesehatan melimpah seperti Posyandu dan Puskesmas tidak menjadi jaminan rendahnya kasus stunting. Malah, daerah-daerah dengan fasilitas kesehatan melimpah mencatatkan angka stunting di atas 20 persen.

Kota Surabaya misalnya, memiliki 63 layanan Puskesmas, namun angka prevalensi stunting di kota ini mencapai 28,9 persen. Contoh lainnya Kota Malang, tempat tinggal Holilah dan Ayun, memiliki 16 layanan Puskesmas, namun prevalensi stunting di daerah ini mencapai angka 25,7 persen.

Sebaliknya, daerah dengan sedikit layanan kesehatan Puskesmas tidak serta merta memiliki prevalensi stunting yang tinggi. Kabupaten Mojokerto misalnya, hanya memiliki 6 layanan puskesmas, namun prevalensi stunting hanya di angka 6,9 persen. Padahal tercatat ada 10.279 balita di daerah ini berdasarkan data terbaru 2021.

Data lengkap jumlah Puskesmas dan prevalensi stunting di Jawa Timur pada tahun 2021 bisa dilihat di bawah ini:

Jumlah Puskesmas di Jawa Timur Tahun 2021 - EPOCHSTREAM

 

Demikian pula dengan layanan kesehatan lainnya seperti Posyandu, menunjukkan kondisi serupa. Di Kabupaten Malang misalnya, memiliki 2.867 layanan Posyandu, prevalensi stunting mencapai 25,7 persen.

Kemudian di Kabupaten Bondowoso, tempat tinggal Anik, juga tidak jauh berbeda. Memiliki 1.086 layanan Posyandu, angka prevalensi stunting di Kabupaten Bondowoso sangat tinggi, yaitu mencapai 37 persen.

Begitu halnya dengan Kabupaten Lumajang yang memiliki 1.299 layanan Posyandu, angka prevalensi stunting di daerah ini juga tinggi, yaitu di angka 30,1 persen. Berikut data lengkapnya:

Jumlah Posyandu di Jawa Timur Tahun 2021 - EPOCHSTREAM

Disisi lain, bila merujuk data nasional, rata-rata prevalensi stunting balita di Jawa Timur tak bisa pula di bilang bagus. Kasus stunting di Jawa Timur menurut SSGI Tahun 2021 masih terbilang tinggi, yaitu 23,5 persen.

Angka tersebut sedikit lebih rendah dari rata-rata prevalensi stunting nasional, yakni 24,4 persen. Bahkan, Jawa Timur menjadi salah satu dari 12 provinsi prioritas penanganan stunting secara nasional.

Menurut Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) dalam Word Bank (2006), suatu wilayah dikatakan memiliki masalah stunting ringan apabila prevalensi berada diantara 20-29 persen, dikatakan sedang apabila berada diantara 30-39 persen, dan dikatakan berat apabila diatas 40 persen.

Dari 38 kabupaten di Jawa Timur, ada sebanyak 4 daerah yang mencatatkan angka prevalensi stunting diatas 30 persen, 19 daerah di atas 20 persen dan 15 daerah di bawah 20 persen.

Dari data tersebut, Kabupaten Bangkalan mencatatkan kasus stunting tertinggi dengan prevalensi mencapai 38,9 persen, jauh di atas rata-rata nasional. Kemudian, disusul Kabupaten Pamekasan yang mencapai 38,7 persen dan Kabupaten Bondowoso 37 persen.

Sedangkan daerah di Jawa Timur yang mencatatkan angka prevalensi stunting paling rendah hanya Kota Mojokerto, yaitu di angka 6,9 persen. Berikut data lengkap prevalensi stunting di 38 kabupaten/kota di Jawa Timur menurut SSGI tahun 2021:

Prevalensi Balita Stunting di Jawa Timur Tahun 2021 - EPOCHSTREAM

Adapun daerah dengan jumlah balita terbanyak berdasar data terakhir 2021 tercatat berada di Kota Surabaya dengan total sebanyak 208.613 jiwa balita, sementara prevalensi stunting di wilayah ini mencapai angka 28,9 persen, di atas rata-rata nasional.

Berikut data lengkap jumlah balita dan prevalensi stunting di Jawa Timur pada 2021:

Jumlah Balita dan Prevalensi Stunting di Jawa Timur Tahun 2021 - EPOCHSTREAM

Berkaca dari Daerah Lain

Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Timur, tercatat ada 47.042 Posyandu dan 968 Puskesmas yang tersebar di 38 daerah dengan prevalensi stunting mencapai 23,5 persen. Dengan jumlah fasilitas kesehatan tersebut, pelayanan kesehatan di Jawa Timur seharusnya dapat optimal, bahkan bisa menekan kasus stunting dibandingkan provinsi lain.

Namun, angka prevalensi stunting Jawa Timur tersebut jauh dibandingkan provinsi lain. Misalnya Bali. Berdasarkan SSGI tahun 2021, Pulau Dewata menempati urutan pertama sebagai daerah di Indonesia dengan kasus stunting terendah, yaitu 10,9 persen.

Padahal, berdasarkan data Dinkes Bali yang diperbarui pada 5 September 2022, jumlah keseluruhan Posyandu dan Puskesmas beberapa daerah di Bali tidak sebanyak seperti daerah-daerah di Jawa Timur.

Contohnya di Kabupaten Gianyar, dengan luas wilayah 368 km², tercatat ada sebanyak 567 Posyandu, 13 Puskesmas dan 64 Puskesmas Pembantu (Pustu). Kasus stunting di daerah tersebut sangat rendah, yaitu sebesar 5,1 persen.

Dibandingkan Kota Surabaya, dengan luas wilayah 326,8 km², tercatat ada sebanyak 2.731 Posyandu dan 63 Puskesmas. Namun, kasus stunting di Kota Pahlawan ini jauh di atas Kabupaten Gianyar, yaitu 28,9 persen.

Tidak hanya di Kota Surabaya, hal serupa juga terjadi di Kabupaten Bondowoso. Dengan luas wilayah 1.560 km², tercatat ada 25 Puskesmas dan 1.086 Posyandu. Kasus stunting di daerah tersebut sangat tinggi, yaitu 37 persen.

Sangat jauh jika dibandingkan Kabupaten Buleleng, dengan luas wilayah 1.366 km², tercatat ada 20 Puskesmas, 73 Puskesmas Pembantu dan 717 Posyandu. Kasus stunting di Kabupaten Buleleng sangat rendah, yaitu 8,9 persen.

Selain Kota Surabaya dan Kabupaten Bondowoso, tidak jauh berbeda juga di daerah seperti Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Jember dan Kabupaten Malang. Di ketiga daerah itu juga terjadi hal serupa.

Kabupaten Bangkalan misalnya, dengan luas wilayah 1.260 km², tercatat ada sebanyak 22 Puskesmas dan 1.143 Posyandu. Akan tetapi, kasus stunting di daerah tersebut menjadi paling tinggi di Jawa Timur, yaitu 38,9 persen.

Selain Kabupaten Bangkalan, hal serupa juga terjadi di Kabupaten Pamekasan. Di wilayah dengan luas 792,3 km² ini, tercatat ada sebanyak 20 Puskesmas dan 991 Posyandu. Kasus stunting di daerah ini juga sangat tinggi, yaitu 38,7 persen.

Berikut data lengkap prevalensi balita stunting berdasarkan provinsi di Indonesia menurut SSGI pada 2021:

Prevalensi Balita Stunting Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2021 - EPOCHSTREAM

Hanya Mendata

Melimpahnya fasilitas kesehatan di Jawa Timur idealnya bisa menekan angka stunting. Jika keberadaan Posyandu dan Puskesmas bisa berjalan optimal, salah satu faktor masalah penyebab stunting terutama mengenai kurangnya pengetahuan dan pendampingan masalah gizi bisa diatasi. Warga bisa mendapatkan layanan edukasi dan pendampingan dari Posyandu dan Puskesmas.

Peranan penting Posyandu sejatinya sudah diatur dalam “Buku Pedoman Posyandu” yang diterbitkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada tahun 2011. Lembaga ini berperan dalam upaya promosi kesehatan dan pencegahan masalah kesehatan di masyarakat, utamanya terkait upaya peningkatan status gizi masyarakat serta upaya kesehatan ibu dan anak. Dalam Permenkes No 43 Tahun 2019 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat (PKM), juga ditegaskan, Puskesmas bertugas melaksanakan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM).

Sayangnya, harapan tinggi mengenai layanan kesehatan vital di akar rumput itu justru jauh panggang dari api, seperti cerita Holilah, Sulastri dan Ayun. Terkait belum optimalnya fungsi Posyandu diamini salah seorang petugas Posyandu yang ditemui seusai kunjungan ke rumah Holilah. Selama bertugas, dia mengatakan dirinya hanya ditugasi mencatat perkembangan anak saat kegiatan Posyandu.

Sedangkan soal edukasi gizi hingga masalah stunting, dia mengatakan sangat jarang dilakukan. Bahkan, menjangkau lebih dalam untuk mengetahui kendala dan latar belakang orang tua juga jarang dilakukan.

”Tugasnya mendata saja, selain itu enggak ada. Kita juga tidak bisa memberikan bantuan berupa makanan atau sembako jika ada anak yang terindikasi kurang gizi atau stunting,” ujar kader Posyandu yang enggan disebutkan namanya tersebut.

Terkait temuan tersebut, Dinkes Jawa Timur belum menjawab pertanyaan yang telah disampaikan media ini pada 28 September 2022 hingga artikel ini diterbitkan. ”Saya koordinasikan dulu (pertanyaan yang telah disampaikan),” kata Rizka Ufliasari, Staf Sub Bagian Umum dan Kepegawaian Dinkes Jawa Timur.

Temuan data dan kondisi layanan kesehatan yang belum optimal di Jawa Timur direspon oleh Kepala Tim Kerja Percepatan Penurunan Stunting, Yuni Zahraini. Dia menyebutkan temuan itu akan menjadi evaluasi pihaknya dan dikoordinasikan dengan provinsi terkait, yaitu Jawa Timur.

”Itu akan jadi evaluasi kami. Nanti, kami koordinasikan dengan provinsi (Jawa Timur),” ujar Yuni yang juga menjabat sebagai Kepala Seksi Masalah Gizi Mikro, Direktorat Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Terlepas dari itu, dia mengatakan Kemenkes telah berupaya dengan meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan di Puskesmas. Hal itu menurutnya untuk mengoptimalkan fungsi Puskesmas dalam pelayanan kesehatan masyarakat, tidak terkecuali dalam penanganan stunting.

Kemudian, lanjut Yuni, pihaknya juga menguatkan koordinasi antara Pemerintah Pusat, Dinkes kabupaten/kota dan Puskesmas itu sendiri dalam menghidupkan kembali fungsi Puskesmas sebagai ujung tombak pencegahan masalah kesehatan dan promosi kesehatan.

Hal itu mengacu pada Permenkes No 43 Tahun 2019 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat, bahwa Puskesmas bertanggung jawab dan berperan aktif memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat dan dunia usaha di wilayah kerjanya.

Dalam penyelenggaraan upaya-upaya kesehatan, Yuni mengatakan Puskesmas telah diminta berkoordinasi dengan pimpinan wilayah kecamatan, pimpinan wilayah desa, lintas program dan lintas sektor terkait melalui koordinasi dengan kecamatan, masyarakat dan lintas sektor lainnya.

”Berkaitan dengan pembinaan, Puskesmas melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan Puskesmas, Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, UKBM (Usaha Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat) di wilayah kerjanya,” ucapnya.

Selain itu, dia mengatakan Kemenkes juga terus berupaya meningkatkan jumlah Posyandu aktif, karena Posyandu merupakan UKBM. Sehingga, kata dia, partisipasi masyarakat merupakan motor penggerak utama.

”Seperti dijelaskan sebelumnya, hampir seluruh proses deteksi dini termasuk pemantauan tumbuh kembang dan pelayanan imunisasi dilakukan di Posyandu. Makanya, perlu ditingkatkan kembali jumlah Posyandu aktif,” ungkapnya.

Sampai saat ini, dari data yang dimilikinya, Yuni mengungkapkan Posyandu di seluruh Indonesia berjumlah lebih dari 300 ribu. Sedangkan jumlah Puskesmas ada sebanyak 10.292 yang tersebar di 514 Kabupaten/Kota seluruh Indonesia.

Kegiatan Posyandu di Tajinan - Kabupaten Malang untuk Menurunkan Angka Stunting - Epochstream

Keigiatan Posyandu di Tajinan, Kabupaten Malang. Posyandu dan Puskesmas perlu melakukan terobosan baru dalam mengedukasi orang tua soal gizi, khususnya stunting, agar tidak mudah jenuh dan membosankan. Foto: Badar Risqullah/EPOCHSTREAM

Perlu Terobosan

Menyikapi belum optimalnya peran Posyandu dan Puskesmas dalam pelayanan kesehatan masyarakat, Dosen Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Universitas Brawijaya (FK UB) Malang, Leny Budhi Harti mengatakan perlu adanya strategi atau metode yang tidak monoton. Terutama soal edukasi gizi.

Hal itu menurutnya sebagai salah satu upaya agar edukasi yang dilakukan kader Posyandu maupun petugas Puskesmas tidak membuat jenuh orang tua. Karena, tidak bisa dipungkiri, sekalipun sudah diberi edukasi, dia mengatakan orang tua kadang mengaku tidak dapat edukasi.

”Hal itu karena edukasi yang disampaikan monoton. Jadi, orang tua bilangnya belum dapat edukasi. Entah mungkin lupa atau sebagainya, sehingga dia menyebutkan tidak mendapatkan edukasi,” ucapnya.

Dia mengatakan salah satu metode yang dapat dioptimalkan oleh Posyandu dan Puskesmas adalah metode Emotional Demonstration atau Emo Demo. Dengan metode tersebut, dia menyebutkan edukasi yang disampaikan bukan hanya pengetahuan saja, melainkan bagaimana menyentuh perasaan orang tua.

”Yang dibangun adalah kesadaran seorang ibu. Kalau yang dimasukkan hanya pengetahuan, orang kan mudah lupa dan jenuh. Tapi, kalau yang disasar adalah kesadaran, orang akan aware (peduli),” terangnya.

Dia mencontohkan salah satu edukasi yang dilakukan dengan metode Emo Demo adalah edukasi pemberian MP ASI. Teknisnya, dia menjelaskan, edukasi yang disampaikan bukan hanya informasi gizi, melainkan juga dampak jika anak tidak diberikan MP ASI yang baik.

Dengan pemberian edukasi tersebut, dia mengatakan orang tua lambat laun akan sadar dengan sendirinya. Karena, kata Leny, orang tua sudah mengetahui dampak jika anaknya tidak diberikan MP ASI yang baik.

Selama ini, dia mengungkapkan metode-metode yang dilakukan oleh Posyandu dan Puskesmas dalam mengedukasi orang tua banyak gagalnya. Hal itu menurutnya disebabkan metode yang diterapkan masih monoton.

”Orang tua akan aware jika dikasih contoh-contoh anaknya akan seperti ini (tubuh pendek atau sering sakit) jika tidak mendapatkan MP ASI yang baik. Nah, dengan cara seperti itu, orang tua akan sadar. Oiya, saya butuh butuh edukasi ini,” ungkapnya.

Untuk diketahui, dilansir dari laman emodemo.org, Emo Demo mengenai pemberian makan bayi dan anak serta gizi ibu hamil di Indonesia diperkenalkan oleh Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN) pada tahun 2014 melalui program perubahan perilaku.

Disebutkan bahwa ada sebanyak 24 permainan Emo Demo yang dikembangkan menggunakan pendekatan Behaviour Centred Design (BCD) dari London School of Hygiene and Tropical Medicine (LSHTM).

Emo Demo merupakan sebuah panduan kegiatan yang sangat partisipatif yang bertujuan untuk menyampaikan pesan sederhana dengan cara menyenangkan dan atau menyentuh emosi, sehingga membuatnya mudah diingat dan berdampak dibandingkan dengan strategi perubahan perilaku konvensional lainnya.

Emo Demo dikembangkan dalam sebuah permainan yang interaktif, meminimalisir pemberian informasi kesehatan dengan metode penyuluhan atau pengajaran satu arah.

Dalam setiap permainan Emo Demo dilakukan dengan menciptakan momen mengejutkan, membuat orang memikirkan kembali perilakunya serta meningkatkan emosi target terkait perilaku yang diinginkan.

”Metode seperti ini (Emo Demo) jarang dilakukan. Padahal, bagus. Setahu saya, yang sudah menerapkan itu Trenggalek. Malang juga sudah menggunakan metode ini,” kata dia.

Lebih lanjut, dia menambahkan bahwa untuk permasalahan komplek dalam edukasi gizi anak dan ibu hamil adalah cara mengedukasinya. Karena, dia mengakui, dalam mengubah kebiasaan atau budaya pola asuh yang salah sangat sulit.

Oleh sebab itu, Koordinator Kelompok Dosen Peminatan Klinik ini mengatakan edukasi soal gizi kepada orang tua tidak bisa hanya dilakukan satu dua kali saja, melainkan harus secara terus menerus dan menyeluruh.

”Mungkin orang tuanya aware (peduli terhadap pola asuh anaknya), tapi kadang neneknya tidak aware. Itu masalah yang sering dihadapi. Makanya, (posyandu dan puskesmas) perlu ada terobosan-terobosan metode edukasi yang aplikatif,” terangnya.

Di samping itu, salah satu hal yang menurutnya belum tersentuh oleh Posyandu dan Puskesmas dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada anak dan ibu adalah mengidentifikasi tantangan.

Sekalipun kader Posyandu dan petugas Puskesmas sudah dibekali pengetahuan, jika tantangan-tantangan tersebut tidak diidentifikasi, hal itu menurutnya akan sulit. Sebab, budaya dan karakter masing-masing orang tua di suatu daerah berbeda.

”Kalau tantangan-tantangan itu sudah diidentifikasi, edukasi kepada orang tua anak enak dan sesuai dengan targetnya. Sayangnya, hal itu (metode dan tantangan edukasi) jarang disentuh,” jelasnya.

Dia pun menyarankan agar pelayanan kesehatan yang dilakukan kader Posyandu atau petugas Puskesmas bisa berjalan optimal adalah dengan memperbaru pengetahuan secara berkala, baik konten atau metode edukasi.

”Yang diperbarui tidak hanya pengetahuannya, melainkan juga metode yang dilakukan. Bagaimana konseling yang baik. Nah, hal itu bisa belajar dari konselor yang baik. Dua langkah itu yang paling utama harus dilakukan,” tuturnya.

***

Catatan:

  • Seluruh data dalam artikel adalah hasil olah data terbuka dari website Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Timur dan Hasil Studi Satus Gizi Balita Indonesia (SSGI) Tahun 2021.
  • Karya ini merupakan hasil “Pelatihan Jurnalisme Data Investigasi 80 Jam untuk Jurnalis” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dengan dukungan USAID dan Internews.
  • Karya ini juga merupakan hasil kolaborasi dengan ALFIKR, Pers Mahasiswa (Persma) Universitas Nurul Jadid, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo.
  • Artikel ini tayang pertama kali di CoverBothSide.com pada 8 Oktober 2022.

Jangan Lupa! Tinggalkan Komentar

Catatan:
Dengan mengisi formulir ini, Anda setuju dengan penyimpanan dan penanganan data Anda oleh EPOCHSTREAM. Kami tentu menjamin kerahasiaan dan keamanan data Anda sesuai peraturan yang berlaku. Selengkapnya, baca Kebijakan Privasi dan Ketentuan Layanan kami.

ARTIKEL LAINNYA