Ada banyak pilihan kedai kopi yang menjadi jujukan atau lokasi nongkrong di Kota Malang. Namun, kedai kopi dan toko buku yang menempati ruang tamu berukuran 3×2 meter persegi ini terlihat berbeda. Selain menikmati kopi, para pengunjung juga bisa membaca buku-buku terbaru hingga jadul serta mengikuti diskusi sampai larut malam.
***
Tiga orang terlihat melingkari cangkir kopi yang bersanding dengan buku di tengahnya pada Jumat, 5 April 2019. Di ruangan tak terlalu luas itu, perbincangan mengalir bebas. Mulai dari bahas budaya, sejarah, hingga mengkritisi kebijakan pemerintah. Di samping dan belakang mereka, tampak deretan buku yang sebagian besar termasuk buku terbitan lama alias jadul.
”Buku ini keren, menceritakan bagaimana sejarah peradaban Islam. Buku yang bagus untuk mengetahui para pembentuk peradaban Islam,” ujar Teguh Ahmad, salah satu pengunjung kedai kopi yang ikut dalam diskusi itu.
Dia lantas menyimpulkan, buku itu merupakan bacaan wajib jika ingin mengetahui seperti apa dan bagaimana sejarah Islam berlangsung.
”Memang, sejarah peradaban itu perlu. Sebab, banyak dari kita yang mengamalkan sesuatu tapi tidak tahu asal usulnya,” timpal Qurrotul Ayun, pengunjung lainnya, saat mendiskusikan buku berjudul “Para Pembentuk Peradaban Islam Seribu Tahun Pertama” karya Chase F. Robinson.
Begitulah suasana yang biasa terlihat di kedai kopi dan toko buku yang berlokasi di Jalan Bendungan Sutami Nomor 52 Kota Malang tersebut. Aktivitas para penikmat kopi yang juga penyuka buku ini seakan tidak ada habisnya, silih berganti dan seakan tak pernah libur.
”Liburnya hanya kalau pas ada acara keluarga dan kegiatan ke luar kota saja,” ungkap Hariyanto, pemilik Kedai Kopi dan Toko Bintang Kecil. Dia menceritakan bahwa kedai kopi miliknya tersebut berdiri pada tahun 2017.
Awalnya, dia hanya ingin melanjutkan warkop hasil kerja sama dengan temannya yang terpaksa tutup. Dia lantas membuka warung kopi di rumahnya.
”Gak enak. Soalnya, tiap hari kan wes biasa. Nah, moro-moro (tiba-tiba) tutup dan mandek (berhenti) tiga bulan. Akhirnya saya buka di sini,” ucap pria yang memiliki hobi touring mengendarai Scooter Vespa itu.
Dia menjelaskan, kedai kopi lamanya berlokasi di ruko depan Maestro, ngopi sambil berdiskusi pun sudah menjadi aktivitas sehari-hari sejak 2003-an silam. ”Tradisi itulah yang kembali saya coba bawa di kedai kopi saya ini,” ujarnya.
Berangkat dari situlah, Cak Pendek –sapaan akrab Hariyanto– membuka diskusi kecil-kecilan di kedai kopinya. Ternyata, lambat laun mulai banyak yang berdatangan.
”Kebetulan saya kan senang diskusi dan baca buku serta kenal teman-teman mahasiswa. Jadi, mereka banyak yang mampir di sini,” kata Cak Pendek yang juga pendiri Komunitas Literasi ‘Sabtu Membaca’.
Seiring berjalannya waktu, setiap hari pun tak pernah absen digelar diskusi. Meski hanya dua atau tiga orang yang hadir. Mulai dari masalah sepele hingga tema penting tetap bisa menjadi topik menarik.
”Kadang diskusi soal sejarah, seni, bahasa, hingga budaya. Bahkan, kita pernah mendiskusikan soal asal-asul peci. Hal itu kita lakukan karena kita tidak mau meremehkan sesuatu yang paling kecil sekalipun. Jadi, kita bahas apapun yang sekiranya bermanfaat,” ujarnya.
Selain itu, keberadaan koleksi buku yang dimiliki CakPendek juga menjadi daya tarik tersendiri. Tak hanya buku kekinian yang ada di kedai kopinya, namun ada banyak juga buku cetakan tahun 50, 60, hingga 70-an. Ia mengaku sengaja disiapkan untuk menemani pengunjung yang ngopi.
Makanya, kata dia, tak heran jika banyaknya buku tersebut juga menarik minat orang untuk datang. ”Biasanya bukan cuma mahasiswa atau pelajar saja. Kadang, ada driver ojek online juga yang datang. Selain ngopi, mereka juga kadang sambil baca buku,” ungkapnya.
Hariyanto mengatakan, deretan buku koleksi di kedainya tersebut memiliki tema beragam. Mulai dari sejarah Indonesia, seni dan budaya, agama dan lain sebagianya. Beberapa buku sejarah yang dibuat hingga tujuh jilid juga dimilikinya. ”Seperti buku sejarah agama Hindu, Indonesia, Jawa, dan beberapa biografi tokoh-tokoh Indonesia juga ada,” tambahnya.
Hobinya mengumpulkan buku sudah dijalani sejak dulu. Dia mengaku sering penasaran dengan setiap judul atau pengarang buku yang disebut di dalam buku lainnya. Jadi, dia harus mencari buku tersebut. ”Biasanya saya cari di toko buku bekas, toko online, atau kadang cari di teman yang juga suku koleksi buku,” imbuhnya.
Sebagian pengunjung warung kopinya bahkan lebih tertarik dengan koleksi bukunya. Terkadang ada saja mahasiswa yang tengah menyelesaikan skripsi atau tesisnya mencari referensi di rak buku miliknya.
”Malah kadang ada yang pinjam juga, meski kadang tidak dikembalikan,” ujarnya lantas terkekeh. Karena alasan itulah, saat ini Hariyanto memberlakukan aturan buku hanya bisa dibaca di warkop.
Daya tarik itu pun dialami Teguh Ahmad, salah satu mahasiswa asli Palu yang kini menempuh semester 10 di Fakultas Ilmu Komputer Universitas Brawijaya (Filkom UB).
Dia mengaku warung kopi yang dilengkapi koleksi buku tersebut termasuk tempat jujukannya. ”Enak banget. Salah satu zona nyaman di Kota Malang dan tempat menenangkan pikiran,” ungkapnya.
Awalnya, dia sendiri mengenal warung kopi dan buku ”Bintang Kecil” sendiri dari Toko Buku Perbatasan. Di mana waktu itu dia membeli buku dan ngobrol-ngobrol dengan pemilik tokonya.
”Mas Galih, namanya. Dia yang memberitahu saya ada warung kopi ini,” ujar pria berusia 21 tahun itu. Dia juga menambahkan, di warung kopi yang memiliki ratusan koleksi itu, dirinya merasakan adanya perbedaan.
Setiap hari atau saat dirinya nyangkruk di warung itu ada saja pembahasan menarik. Meski topik yang dibahas sama dengan sebelumnya. ”Memang topiknya sama. Tapi, yang membuat beda itu saat dikembangkan itu lho bisa menjurus ke mana-mana,” jelasnya.
Selain itu, warung kopi tersebut menurutnya asyik karena tidak memiliki jam tutup. Bahkan, dia mengaku diskusi dan membahas tentang sesuatu bisa sampai pukul 04.00.
”Saat itu pernah bahas sejarah dan situs di Kota Malang. Dan pembahasannya sampai Subuh. Dan itu pun masih belum selesai,” ungkapnya.
Selama ini, menurut dia, tidak ada warung kopi yang diketahui bisa membahas sesuatu sesuai dengan yang kita ketahui. Dan hal tersebut pasti jadi pembahasan menarik.
”Menurut saya sih tidak ada kata lain selain nyaman. Baik untuk bersantai, membaca buku, maupun berdiskusi dengan sesama teman atau teman baru,” tutupnya.
***
Artikel ini pertama kali tayang dalam rubrik Sunday Story Jawa Pos Radar Malang pada 7 April 2019.